Di
postingan sebelumnya, Mei udah memberi kabar tentang keputusan untuk resign. Disitu dituliskan sekelumit deskripsi tentang kondisi perlunya menitipkan Naresha sampai jam 7 malam (kadang2 lebih). Tapi sebenarnya opsi memilih resign, kondisinya bukan melulu karena Naresha. Untuk itu, Abang mau sedikit memberi gambaran tentang "pengorbanan" di postingan Mei tersebut.
Tidak seperti di Indonesia yang umumnya setiap keluarga punya pembantu, kita2 yang tinggal di Jepang ini pada umumnya mesti mengurus segala pekerjaan rumah sendiri. Kondisi ketergantungan dengan pembantu di Indonesia sampai menyumbang kesan negatif terhadap ibu yang tetap memilih bekerja meski punya anak. Karena tidak jarang memang terlihat pemandangan ibu2 yang melimpahkan seluruh urusan merawat anak ke pembantu. (bahkan ada aja kasus dimana saat seorang anak ditanya tentang gambar wanita dan anak dipangkuannya, wanita tersebut dijawab adalah "bibi"-nya).
Bagaimana dengan di Jepang? Meski tidak bilang 100% benar, tapi sejauh yang Abang tau, seorang ibu disini tidak bisa "lari" dari pekerjaan mengurus rumah & anak, meski dia juga bekerja. Terkadang ada kompromi dengan suami bila si ibu juga bekerja full, dan bila sekedar part-time, mungkin nyaris 100% urusannya adalah menjadi beban ibu.
Nah, kalau AbangMei, kita memilih opsi berkompromi untuk mengurangi beban masing2 karena bekerja (walau mungkin 60%-70%-nya masih ditanggung Mei kali ya). Kira2 bagaimana jadinya keseharian kita karena itu? Berikut ini adalah gambarannya.
1. Beres2 pagi
Mei: bangun jam 6 dan mesti menyiapkan makan pagi, bento Abang-Mei-Naresha, memandikan dan memberi makan Naresha.
Abang: biasanya bangun jam 7, trus menyiapkan Naresha ke tempat penitipan (kalau makannya lama, berarti Abang yang mesti nerusin nyuapin). mengantar Naresha sambil pergi kerja sekitar jam setengah 9.
2. Siang-malam
Mei-Abang: kerja
Naresha: main di tempat penitipan
3. Malam
Mei: menjemput Naresha dari penitipan sekitar jam 7. begitu pulang, menyiapkan dan menyuapkan makan Naresha. setelah itu bermain sama Naresha sebentar lalu menidurkannya. setelah Naresha tidur, ganti menyiapkan makan malam untuk AbangMei. kalau beruntung ada waktu tersisa, bisa liat2 internet/tv sebentar sambil melemaskan otot dan menunggu Abang pulang biar makan malam bareng. setelah makan malam, kalau Abang pulang cepet, ngobrol2 sebentar sama Abang, trus tidur sekitar setengah 1.
Abang: pulang antara pukul 10-12 malam (mari dikesampingkan saja masa2 pulang pagi-pergi pagi). menjumpai Mei yang setia menunggu, trus makan malam bareng. setelah Mei tidur, mulai mengerjakan pekerjaan rumah yang belum selesai, liat2 internet/tv dan/atau baca buku. setelah itu tidur sekitar jam setengah 3 atau abis subuh.
Melihat kondisi ini, kira2 apa yang bisa terlihat? Satu yang pasti...capek!!! Dengan tidur 4-5 jam sehari (kalau beruntung), fisik & mental terkuras di tempat kerja, dan di rumah pun masih harus menguras fisik karena ngerjain pekerjaan rumah, dan terkadang juga menguras mental karena mendengar keluhan masing2.
BTW, ini baru kondisi normal. Kalau misalnya Naresha sakit, jauh lebih repot lagi. Ini karena tempat penitipan gak membolehkan anak sakit untuk masuk. Jadi, kita mesti memasukkan Naresha ke tempat penitipan anak sakit (病児保育室), yang tempatnya sekitar 45 menit lagi dari rumah, jadi Abang mesti pergi lebih pagi lagi kalau Naresha sakit.
Tapi sayangnya, tempat penitipan ini tutupnya jam 6 sore. Supaya bisa jemput, kita mesti memohon2 ke atasan dan temen2 kantor supaya dibolehkan pulang cepat dan menghandle kerjaan yang mesti segera diselesaikan. Ini akan jadi lebih berat, terutama pas lagi musim sakit. Berulang kali Naresha dititipkan kesini selama beberapa hari. Jadinya AbangMei mesti ganti2an jemput karena gak enak sama kantor. Ditambah lagi, keluar ongkos tambahan untuk biaya penitipan.
Itulah sekelumit (dalam arti harfiah, bila dibandingkan yang kondisi sebenarnya) cerita AbangMei, terutama sekitar 5 bulan ini. Secara umum, dari pengalaman, Abang cuma bisa bilang: Jepang bukan tempat yang ramah untuk keluarga yang bapak-ibunya bekerja. Terutama kalau tidak ada support (bukan hanya dukungan moral) dari orang lain seperti keluarga atau pembantu. Bahkan teman2 kantor Abang (terutama rekan kerja langsung) semuanya istrinya gak bekerja karena memang sulit untuk itu.
Buat yang punya atau mau punya anak, Abang sih gak nyaranin banget deh buat kerja, terutama pas anak masih kecil dan mau dirawat sendiri. Kantor AbangMei itu, sepertinya cukup (amat??) fleksibel untuk ukuran Jepang. Meski begitu, tetap aja sulit untuk bertahan. Kalaupun tetap mau, mudah2an sudah dipikirkan masak2. Mendatangkan anggota keluarga dari Indonesia bisa sangat membantu, yang mana kebetulan memang tidak menjadi pilihan buat kami.
Untuk Mei: 大変お疲れ様でした。これからも、また一緒に頑張りましょうね。
-- Abang --